Indonesia vs China : Studi
Komparatif Bisnis Ekonomi dalam CAFTA 2010
Desember 30,
2009
Pendahuluan
4 Nopember
2002, pemerintah Republik Indonesia bersama negara ASEAN menandatangani Framework
Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of
South East Asian Nations and the People’s Republic of China (source). Melalui perjanjian China-ASEAN
Free Trade Area (CAFTA) ini,
maka ASEAN mulai melakukan pasar bebas di kawasan China-ASEAN. Dan khusus
negara ASEAN-6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunai)
telah menerapkan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk
berkategori Early Harvest Package. Sejak 2004, tiap tahun pemerintah
Indonesia terus mengurangi besaran/persen bea masuk (BM) produk
impor dari China. Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), sekitar 65% produk impor dari
China telah mendapat stempel BM nol persen dari Dirjen Bea & Cukai
Departemen Keuangan RI. Dan pada Januari 2010 ini, sebanyak 1598 atau 18%
produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%. Dan sebanyak
83% dari 8738 produk impor China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa
dikenai BM sepersenpun pada Januari 2010. Ini berarti pemerintah Indonesia
telah menerapkan sistem pasar bebas yang seluas-luasnya dengan China. Beberapa produk yang akan dibebaskan masuk pada 2010
ini (dari sebelumnya 5% pada 2009) adalah pasta dan sikat gigi, sisir
dan jepitan rambut dari besi/alumunium, balpoin, pulpen, pensil dorong/putar,
bola lampu, kunci, gembok, hingga peralatan dapur yang terbuat dari besi
& stainless. Bila produk-produk seperti balpoin, pulpen, pensil atau bol
lampu yang pada 2009 masih dikenakan BM 5% sudah menjamur di Indonesia,
bagaimana pada 2010 yang notabene akan bebas masuk alias BM 0%?
Pasar Bebas Indonesia
– China dalam Wadah CAFTA
Bisa dipastikan pada 2010 ini jumlah
produk China semakin membanjiri pasar Indonesia. Peningkatan permintaan
produk dari China tentu akan menguntungkan China karena secara langsung
memperluas lapangan pekerjaan di China, disisi lain industri-industri kecil
Indonesia akan mulai berguguran yang pada akhirnya dapat mengurangi
lapangan pekerjaan. Jauh sebelum penerapan pasar bebas Indonesia-China yang
seluas-luasnya per 2010 ini, selama 5 tahun terakhir Indonesia mengalami
kerugian (neraca) dalam hubungan kerjasama dagang Indoensia-China.
Dalam kurun 2003-2009, Indonesia mengalami defisit (kerugian)
perdagangan non-migas dengan China sebesar 12.6 miliar dolar AS atau hampir Rp
120 triliun (lihat gambar tabel dibawah).
Dari tabel di atas, Indonesia hanya mengalami surplus
perdagangan dengan China pada 2003 sebesar 535 juta dollar AS, tepatnya 1 tahun
sebelum pelaksanaan Free Trade Area. Dan sejak 2004 hingga Nov 2009,
Indonesia ‘konsisten’ mengalami defisit perdagangan dengan China dan mencapai
defisit terbesar pada 2008 yakni USD -7.2 miliar atau setara Rp 70 triliun. Ini
berarti penerapan CAFTA khususnya antara Indonesia-China telah memberi
keuntungan yang sangat besar bagi Republik Rakyat China.
Pada tahun 2008, ekspor China ke
Indonesia meningkat sebesar 652 % dibanding 2003. Sementara pada periode
yang sama, Indonesia hanya mampu meningkatkan ekspor ke China sebesar 265%. Ini
berarti, China mendapat keuntungan hampir 3 kali lipat sejak dibukanya
perdagangan bebas dengan Indonesia. Jumlah rata-rata penjualan produk China
di Indonesia meningkat hingga 400% dalam kurun 5 tahun terakhir. Maka tidaklah
heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan/temui sehari-hari bertuliskan
“MADE IN CHINA“. Meningkatnya produk China yang
masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitf harga. Barang-barang impor
dari China relatif lebih murah dibanding produk dari industri lokal.
Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang
murah, maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk China. Bila
kran perdagangan bebas China-Indonesia sangat menguntungkan pemerintah China,
mengapa Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara maksimum?
Kajian Komparatif
Bisnis Ekonomi Indonesia vs China dalam CAFTA
Penyebab
terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan Indonesia
adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China.
China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding
Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih
efisien, ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai. Berdasarkan
laporan The Global
Competitiveness Report 2009-2010, efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32
dari 133 negara. Sementara Indonesia berada diperingkat 75 jauh dibawah China. Efisiensi tenaga kerja hanya satu dari sekian banyak
faktor yang mempengaruhi ekonomi produksi berbiaya rendah. Dari Global Competitive
Index 2009-2010 (GCI), Indonesia menduduki peringkat 54 dari 134 negara. Peringkat
GCI Indonesia jauh dibawah China #29, Jepang #8, Taiwan #12, Korea
Selatan #19 di Asia Timur. Dikawasan Asia Tenggara, GCI Indonesia jauh dibawah
Singapura #3, Malaysia #24, Brunai DS #32 dan Thailand #36. Dan untungnya
Indonesia masih diatas Vietnam # 75, Filipina, #87, dan Kamboja #110. Catatan
: Laos dan Myanmar tidak masuk dalam 133 negara yang disurvei GCR.
Faktor Kompetitif Bisnis/Ekonomi China-Indonesia (GCI
Indonesia #54 sedangkan China #29)
Setidaknya, ada 12 faktor umum yang mempengaruhi
kompetitif bisnis/ekonomi. Dan semua faktor kompetitif bisnis di Indonesia
berada dibawah China kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa. Sisanya
seperti faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat, infrastruktur, stabilitas
ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja, suku bunga perbankan dan
ukuran pasar di Indonesia jauh tertinggal dibanding China.
Praktik dari peribahasa “kalau
bisa dipersulit, mengapa dibuat mudah” tampaknya sulit hilang dari mental
para birokrat. Padahal praktik mempersulit bisnis/usaha mengakibatkan ekonomi
kita menjadi ekonomi berbiaya tinggi. Sistem birokrasi (1) di Indonesia
merupakan salah satu sistem dengan tingkatan terbanyak dan terkompleks. Untuk
membuat izin usaha diperlukan waktu dan mekanisme panjang yang (+ tips).
Praktik korup (2) ini pula menjadi pelengkap bottle neck untuk ekonomi
produksi yang murah (low-cost economy).
Permasalahan sistem Birokrasi, Infrastruktur dan
Korupsi menjadi bottle neck ekonomi murah
Infrastruktur yang buruk (3) menjadi alasan
mengapa keenganan investor dan pengusaha untuk menanamkan modal dan usahanya di
Indonesia. Selain sistem birokrasi yang amburadul, kekurangan fasilitas dan
infrastruktur menyebabkan biaya produksi/pemasaran barang dan jasa menjadi
tinggi. Ketidakpastian sumber energi bagi industri yang bergantung pada energi
listrik menyebabkan para investor memilih negeri China. Kekurangan energi
listrik dan akses jalan/pelabuhan secara nyata menjadi momok para investor.
Banyak daerah yang sebenarnya berpotensi dalam mengembangkan bisnis/industri
akhirnya terkendala hanya karena faktor jalan yang rusak/putus. Contoh dari
kasus infrastruktur yang buruk dialami oleh PT Port Rush di Kawasan Industri
Terboyo, Kota Semarang . PT Port Rush batal memperluas usahanya karena
infrastruktur di Terboyo tidak memadai. Padahal, perluasan senilai Rp 20 miliar
tersebut dapat menyerap 300 tenaga kerja tambahan (Kompas, 10 Sept 2009). Hal senada juga disampaikan oleh
investor Lee Wo fun, pemilik PT Ebako Nusantara yang kecewa dengan berniat
hengkang.
Krisis
Listrik 2008
Pada 2008 silam, Indonesia dilanda krisis listrik yang
merugikan ekonomi masyarakat dan bisnis perusahaan. Tidak hanya desa-desa
terpencil Indonesia yang biasanya gelap-gulita, namun kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Medan pun mengalami pemadaman listrik secara bergiliran.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rachmat Gobel mengatakan
bahwa krisis pasokan listrik telah mengurangi kepercayaan calon investor
(Kompas, 10 Juli 2008.)
Akibat krisis listrik selama Mei-Juni 2008, sejumlah
perusahaan Jepang di sekitar Jakarta dan Banten tersebut mengaku rugi Rp 41
miliar dalam dua bulan terakhir akibat pemadaman. Tidak hanya di sekitar Jakarta
dan Banten, industri di sejumlah daerah pun merasakan dampak kerugian yang sama
akibat terhentinya pasokan listrik. Di Palembang, Ketua Kadin Sumatera Selatan
Ahmad Rizal mengatakan, pengusaha menderita rugi besar karena PLN kerap
melalukan pemadaman tanpa pemberitahuan. “Lama-lama industri bisa kolaps,” kata
Ahmad. Di Padang, gara-gara listrik mati 2-4 kali sehari, para pengusaha kecil
dan menengah menanggung rugi sampai jutaan rupiah per hari. Para pengusaha juga
mengeluhkan target produksi harian yang acapkali meleset karena sarana usaha
yang memakai listrik tidak bisa digunakan. “Akibatnya, produksi baju yang
biasanya 1.000 potong sehari, merosot jadi 500 potong saja. Kalau ditaksir,
kerugian kami bisa mencapai Rp 1 juta,” kata Sumarni, pengelola konveksi
Maradon (Kompas, 10 Juli 2008.).
Kondisi infrastruktur terutama jalan, transportasi dan
pasokan listrik Indonesia masih jauh dibawah China. Untuk mendukung
ekonomi-industrinya, China membangun secara besar-besaran pembangkit listrik,
sistem transportasi, jalan raya hingga stok air bersih. Dengan membangun
fasilitas-fasilitas ini dengan baik, maka China akan jauh lebih menarik
investor untuk masuk ke negaranya. Dengan fasilitas yang memadai, maka biaya
ekonomi akan jauh lebih murah yang disertai kecepatan perpindahan barang dan
jasa yang tinggi.
Tingkat Suku Bunga
Tingkat suku bunga perbankan sangat mempengaruhi
inflasi dan tingkat pengembalian modal investasi (return of investment dan
MARR). Suku bunga yang terlalu rendah dapat menyebabkan kenaikan inflasi, dan
sebaliknya. Sementara jika suku bunga tinggi, maka inflasi dapat terkendali,
namun disisi lain akan menyebabkan resiko usaha sektor riil semakin berat
akibat beban bunga yang harus dibayar.
Oleh karena itu, dunia perbankan harus jeli
menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar antara tingkat suku bunga yang
kompetitif terhadap return investasi di sektor riil serta inflasi. Secara
alamiah, sektor riil-lah yang menumbuhkan sektor finansial, yang menentukan
penghasilan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menentukan berapa
harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya.
Dalam hal ini, tingkat kompetitif Indonesia masih jauh
dibanding China. Suku bunga kredit Indonesia mencapai lebih dari 10% per tahun,
sementara pengusaha China hanya membayar suku bunga tidak lebih 7% (data tahun
awal 2009 : Indonesia – China). Ini berarti pengusaha China akan
jauh lebih mudah memainkan harga yang lebih murah dibanding pengusaha
Indonesia.
China vs Indonesia : Ekonomi Biaya
Tinggi vs Ekonomi Biaya Rendah
Berdasarkan indeks kompetitif ekonomi China vs
Indonesia, maka dapat disimpulkan pula bahwa biaya ekonomi produksi
Indonesia tergolong lebih tinggi dibanding dengan China. Hal tersebut terutama
disebabkan ketidakefisienan birokrasi pemerintah yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Infrastruktur yang buruk meliputi
kualitas jalan raya, alat transportasi, fasilitas telekomunikasi, dan listrik.
Itu pula yang menjadi alasan mengapa para investor asing lebih suka mengambil
alih (take over) pabrik di Indonesia daripada membangun pabrik baru. Dan
sebagian diantaranya lebih senang menginvestasi dalam bentuk pasar modal (hot
money).
Dengan disparitas kompetitif ekonomi Indonesia
terhadap China, maka pelaksanaan pasar bebas yang lebih luas pada Januari 2010
ini akan semakin memukul pengusaha kecil Indonesia terutama pengusaha yang
berada di daerah-daerah dengan kualitas infrastruktur yang buruk disertai
korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Persaingan pasar bebas ini menjadi
tidak fair dan dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar
hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak
yang bersaing memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang
selevel/berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan
yang tinggi, maka perdagangan bebas hanya hanya merusak industri lokal di
negara yang tidak kompetitif.
Dalam hal ini, Prof Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi 2001, mengkritik konsep pasar
bebas yang tidak adil dan berimbang. Perdagangan bebas yang tidak
berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat
akan hancur apabila produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih
murah, sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh
ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila
seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual
produk impor.
Oleh karena itu, hendaknya pelaksanaan perdagangan
yang bebas didasarkan pada faktor komparatif kualitas (fasilitas dan
teknologi), kompetitif dan produk komplementer. Produk-produk yang sudah
mampu diproduksi oleh pengusaha lokal hendaknya diproteksi seraya didorong
untuk meningkatkan efisinsi biaya produksi. Sementara kita membuka
produk-produk berteknologi tinggi yang dapat kita manfaatkan sebagai faktor
mendukung (faktor produksi) industri yang menggunakan level teknologi
dibawahnya.
Dan bila berbagai faktor ekonomi produksi tersebut
tidak setara, maka akan terjadi dominasi perdagangan. Dalam hal ini, Cina
memiliki transfortasi dan fasilitas yang mumpuni, sementara itu Indonesia masih
sangat jauh tertinggal. Akibatnya, produk China akan ‘menguasai’ Indonesia.
Bila ini terjadi, maka Indonesia akan semakin melekat sebagai negara
‘konsumen’.
Referensi
Utama: nusantaranews.wordpress.com/.../indonesia-vs-chi...
- Agreement of Economic Co-Operation Between China – ASEAN (2002 Agreement) — Amandemen 1
- Agreement of Economic Co-Operation Between China – ASEAN (2004 Agreement)
- The Global Competitiveness Report 2009-2010
- Schedule of Indonesia – China Tariff Reduction
- China – AFTA (Situs Depkeu RI)
I.
Pendapat
:
Saya
kurang setuju dengan pasar bebas antara Indonesia – Cina, karena disini yang
lebih banyak mendapatkan keuntungan adalah Cina. Seperti kita lihat tabel di bawah ini, Impor
dari Cina lebih tinggi daripada Ekspor dari Indonesia ke Cina.
Karena
Cina lebih unggul dari pada Indonesia baik dari segi infrastuktur maupun harga
barang yang di tawarkan sangat murah dibandingkan harga barang Indonesia,
sehingga secara tidak langsung dapat menarik perhatian calon pembeli karena
harga yang ditawarkan lebih murah.
II.
Persepsi:
Saya
setuju apabila ada pasar bebas antara Indonesia dengan Cina, asalkan
infrastuktur & prasarana yang dimiliki Indonesia yang belum memadai dapat
lebih ditingkatkan lagi, agar dapat sebanding dengan Cina. Karena daya saing
Indonesia dalam segala hal masih kalah bersaing dengan Cina. Sehingga apabila
infrastuktur & prasaranannya belum ditingkatkan, dapat menghancurkan
industri dalam negeri.
III.
Pandangan:
Di
era globalisasi ini, pasar bebas (seperti Indonesia – Cina) memang merupakan
hal yang tidak diragukan lagi. Karena melalui salah satu cara ini, suatu negara
dapat meningkatkan stabilitas ekonomi negaranya melalui pasar bebas tersebut.
Namun apabila di pasar bebas kita tidak dapat bersaing dengan negara lain,
dampak negatiflah yang akan kita dapatkan, dan sebaliknya apabila kita dapat
bersaing / bahkan kita dapat unggul maka dampak positiflah yang kita dapatkan
yang akan dapat meningkatkan stabilitas ekonomi negara tersebut.
IV.
Dampak:
Pada
pasar bebas ini, ada dampak positif dan negatifnya;
Dampak
Positif Dampak
Negatif
-
Dapat meningkatkan stabilitas - Dapat mengganggu stabilitas ekonomi
ekonomi Indonesia/Cina Indonesia
-
Secara langsung dapat memperluas lapangan - Semakin banyak anka pemgangguran,
kerja
di Cina sehingga melumpuhkan perekonomian
Indonesia
V.
Ide
Kreatif:
ü
Meningkatkan
lagi faktor kompetetiitf bisnis/ ekonomi, infrastuktur & sarana lainnya,
agar dapat lebih memadai.
ü
Memberikan
pelatihan kepada para pekerja industri (seperti industri rumahan), serta meningkatkan produk dalam negeri agar
lebih berkualitas.
ü
Suku
bunga jangan terlalu tinggi, karena bagi masyarakat 6% merupakan cukup tinggi.
ü
Memberiakan
kredit usaha kepada masyaarakat dengan suku bunga yang rendah.
ü
Sebagai
Warga Negara Indonesia, kita harus lebih mencintai & membeli produk dalam
negeri, sehingga secaa tidak langsung kita sudah membantu meningkatkan
perekonomian Indonesia. Dan kita bisa memnjadi tuan rumah di negeri sendiri.