Memperkuat Basis Demokrasi Ekonomi Melalui Pengembangan Ekonomi Rakyat
Pendahuluan
Sebuah
perekonomian yang menjunjung tinggi asas-asas demokrasi, yang mampu memberikan
peluang yang sama kepada segenap rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi, selalu menjadi harapan rakyat Indonesia. Pengalaman ekonomi Indonesia
selama ini menunjukkan masih mahalnya demokrasi ekonomi bagi rakyat, sehingga
sebagian besar aktivitas ekonomi masih didominasi pemilik modal dan menyisakan
hanya sedikit ruang bagi rakyat secara keseluruhan. Hal ini masih ditambah
dengan posisi pemerintah yang belum secara optimal mampu mengalokasikan sumber
daya ekonomi secara adil kepada seluruh pelaku ekonomi. Bahkan yang kerap
terjadi adalah kalahnya pemerintah terhadap tekanan dan permintaan para pemilik
modal, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak hanya kepada
segelintir orang, dan menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi sebagian besar
rakyat.
Kondisi
ini menunjukkan pentingnya mengembalikan demokrasi ekonomi sebagai dasar
perekonomian nasional pada posisi idealnya sehingga mampu mengembalikan harapan
rakyat akan sebuah sistem ekonomi yang berkeadilan sekaligus memberikan ruang
yang lebih luas bagi pengembangan kehidupan sebagian besar rakyat. Dengan
melihat pengembangan ekonomi rakyat, tulisan ini dimaksudkan untuk melihat
bagaimana demokrasi ekonomi di Indonesia berkembang dan upaya-upaya strategis
dalam meningkatkan perannya bagi perekonomian nasional.
Demokrasi
Ekonomi di Indonesia
Dalam
setiap sistem ekonomi, setidaknya terdapat tiga permasalahan pokok yang harus
dipecahkan, yaitu apa yang harus diproduksi (what), bagaimana barang
tersebut diproduksi (how), dan untuk siapa barang tersebut diproduksi (for
whom). Mengingat ekonomi merupakan bagian dari kehidupan sosial sebuah
masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki kesepakatan institusi yang beragam
dalam menentukan bagaimana masalah-masalah dalam perekonomian tersebut
dipecahkan. Thus there is need for a different economics-or different
chapter in economics-for each kind of society, demikian antara lain Milton
Friedman menjelaskan. Dan dalam konteks Indonesia, pilihan memilih Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan
negara, dengan sendirinya menjelaskan bagaimana sebuah sistem ekonomi juga
dibangun sesuai dengan kekhususan watak dan jiwa bangsa.
Demokrasi baik sebagai sebuah
sistem pemerintahan Indonesia yang dijiwai ideologi bangsa, maupun sebagai
sebuah semangat yang mendasari sistem ekonomi nasional, tidak bisa dilepaskan
dari Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat dan kelima yang dijiwai semangat
kerakyatan dan keadilan merupakan ruh yang menjadi asas dan watak bagi
demokrasi ekonomi Indonesia. Dalam UUD 1945, baik sebelum maupun setelah
diamandemen, semangat membangun demokrasi ekonomi yang lebih berkeadilan,
tampak semakin jelas. Butir-butir tujuan nasional sebagaimana disebukan dalam
Pembukaan UUD 1945 antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jauh, Pasal 33 sebagai representasi dari
perekonomian nasional secara global memberikan petunjuk (guidelines)
bagaimana sistem ekonomi yang demokratis bekerja dalam perekonomian nasional.
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
- Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal
ini diatur dalam undang-undang.
Kelima ayat pada Pasal 33 tersebut
menggambarkan betapa kolektivitas dalam perekonomian demikian diutamakan.
Masyarakat Indonesia secara bersama-sama dilibatkan dalam proses produksi,
untuk kepentingan bersama atau sebagian hasil produksi tersebut untuk dinikmati
masyarakat luas. Kata ‘bersama’, ‘orang banyak’, dan ‘kemakmuran rakyat’
menggambarkan bagaimana masyarakat luas menjadi unsur utama dalam kegiatan
perekonomian yang diharapkan. Bila nilai-nilai kemanusiaan yang ditonjolkan
adalah keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat, maka sistem ekonomi tersebut memberi kesempatan pada
individu-individu mengambil inisiatif untuk mencari dan menentukan sendiri tingkat
kebutuhannya (konsumsi dan produksi) selama tidak merugikan anggota masyarakat
lainnya (Hartono dan Wijaya, 1981:14 dalam Hamid, 2004: 40).
Pasal
33 juga secara eksplisit menggambarkan bagaimana struktur ekonomi dilihat dari
kepemilikan usaha diatur secara adil berdasarkan konstitusi. Negara yang
diwakili Bada Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
merupakan pemain utama yang mengelola sektor-sektor vital dalam perekonomian.
Secara tidak langsung, hal ini juga mengindikasikan perlunya penguatan
institusi negara dalam mengelola kekayaan alam, sehingga tidak tergantung pada
pemilik modal asing. Setelah dikurangi sektor-sektor vital bagi rakyat banyak,
di situlah ruang bagi sektor swasta harus bergerak. Disinilah diperlukan suatu mekanisme
kontrol yang transparan sehingga tidak terjadi komposisi yang salah pada
struktur ekonomi ini, agar dampak negatif sebagaimana tampak pada pengalaman di
masa krisis tidak terulang. Asas kekeluargaan sebagai ruh utama perekonomian
meniscayakan koperasi sebagai bangun usaha yang harusnya menjadi pilar utama
ekonomi nasional.
Demokrasi ekonomi sebagai dasar
dari perekonomian nasional juga dengan sangat terperinci dijelaskan mengandung
prinsip-prinsip pokok. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip ini secara
umum menunjukkan pentingnya sebuah bangun ekonomi yang didasarkan atas semangat
kekeluargaan dan kerjasama, yang dikelola secara efektif fan efisien sehingga
mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil. Lebih dari itu, demokrasi
ekonomi yang dibangun haruslah mampu menjaga kelanjutan hidup masyarakat dan
sumber daya alam yang ada, dan meningkatkan kemandirian bangsa. Dan yang tidak
kalah penting, proses demokrasi yang terus berlangsung harus menjamin
keseimbangan antara kemajuan ekonomi di satu sisi dan kesatuan ekonomi nasional
di sisi lain.
Jika
yang dirujuk adalah proses demokratisasi yang masih terus berlangsung, akan
nampak betapa proses demokratisasi yang yang berjalan memang belum begitu mampu
memberikan hasil maksimal dalam upaya memperkuat posisi pemerintah dalam
mengelola perekonomian nasional. Hasil studi Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi
(2008) yang meneliti indikator tata pamong pemerintah menunjukkan alasan
mengapa demokrasi yang berlangsung belum memberikan hasil maksimal. Hasil dari
studi terhadap beberapa indikator yang melibatkan data dari sekitar rata-rata
194 negara untuk setiap indikatornya ini menunjukkan bahwa proses panjang
demokrasi di Indonesia setelah reformasi berlangsung belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan.
Tabel 1 Perkembangan Indikator Tata Pamong Indonesia,
1996 dan 2007
World Governance Indicators
|
1996
|
2007
|
Voice and Accountability
|
-1.17
|
-0.17
|
Political Stability & Absence of
Violence/Terrorism
|
-0.81
|
-1.13
|
Government Effectiveness
|
0.14
|
-0.41
|
Regulatory Quality
|
0.35
|
-0.3
|
Rule of Law
|
-0.37
|
-0.71
|
Control of Corruption
|
-0.55
|
-0.72
|
Sumber: Diolah dari lampiran Kaufmann, Kraay, dan
Mastruzzi (2008).
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dari enam
indikator tata pamong yang dinilai, yaitu voice and accountability, political
stability and absence of violence/terorrism, government effectiveness,
regulatory quality, rule of law dan control of curroption,
hanya voice and accountability yang menunjukkan perubahan signifikan antara
tahun 1996 dan 2007. Hal ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang terus
berlangsung belum mampu menciptakan pemerintahan yang secara efektif mampu
menjaga stabilitas dan keamanan, mengelola pemerintahan secara efektif, membuat
perundangan yang berkualitas, menegakkan hukum, dan mencegah korupsi. Dengan
kondisi pemerintahan semacam ini, nampak wajar jika kemudian performa ekonomi
tidak sepenuhnya berjalan maksimal, karena kualitas kebijakan dan
implementasinya di lapangan memang susah untuk bisa diharapkan memberikan
hasil-hasil yang maksimal bagi kepentingan rakyat banyak.
Pengembangan
Ekonomi Rakyat
Ekonomi rakyat sering disebut
dengan berbagai istilah lain yang terkait, yaitu perekonomian rakyat ataupun
ekonomi kerakyatan. Ini mengandung makna yang spesifik. Jika ekonomi rakyat
menggambarkan tentang pelaku ekonominya, maka perekonomian rakyat lebih
menunjuk pada objek atau situasinya. Makna yang lebih luas ada dalam ekonomi
kerakyatan yang mencerminkan suatu bagian dan sistem ekonomi. Ekonomi
kerakyatan dapat dikatakan sebagai subsistem dari Sistem Ekonomi Pancasila
(Hamid, 2006:33). Dilihat secara harfiah, kata rakyat merujuk pada semua orang
dalam suatu wilayah atau negara. Dengan demikian, jika dilihat dari terminologi
ini, maka yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah ekonomi seluruh rakyat
Indonesia. Namun demikian, dalam konteks yang berkembang, istilah ekonomi rakyat
muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap perekonomian nasional yang biasa
kepada unit-unit usaha besar. Oleh karena itu, makna ekonomi rakyat lebih
merujuk pada ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia, yang umumnya masih
tergolong ekonomi lemah, bercirikan subsisten (tradisional), dengan modal dan
tenaga kerja keluarga, serta teknologi sederhana (Hamid, 2006:33-34).
Ekonomi rakyat berbeda dengan
ekonomi konglomerat dalam sifatnya yang tidak kapitalistik, dimana ekonomi
konglomerat yang kapitalistik mengedepankan pengejaran keuntungan tanpa batas
dengan cara bersaing, kalau perlu bahkan saling mematikan (free fight
competition). Sebaliknya dalam ekonomi rakyat semangat yang lebih menonjol
adalah kerjasama, karena hanya dengan kerjasama berdasarkan asas kekeluargaan
tujuan usaha dapat dicapai (Mubyarto, 1998: 40-46 dalam Hamid,
2006:33-34).
Istilah ekonomi rakyat sendiri
merupakan istilah ekonomi sosial (social economics) sekaligus istilah
ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti
mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai
kaum marhaen. Kegiatan produksi –dan bukan konsumsi-lah yang menjadi titik
tekan dalam hal ini, sehingga buruh pabrik tidak termasuk dalam profesi atau kegiatan
ekonomi rakyat, mengingat buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih
luas yaitu pabrik atau perusahaan. Dengan demikian meskipun pelaku usaha UMKM
(usaha mikro, kecil, dan menengah) dapat dimasukkan dalam kategori ekonomi
rakyat, namun bukan berarti bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak
dapat disebut sebagai “usaha” atau “perusahaan” (firm) seperti yang
dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan (Mubyarto, 2002). Ini menunjukkan bahwa
ekonomi rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi bagi masyarakat kecil, orang
kecil, wong cilik, yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan
usaha formal berbadan hukum, tidak juga secara resmi diakui sebagai sektor
ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur
ekonomi pembangunan ia biasa disebut sebagai sektor informal, “underground
economy“, atau “extralegal sector“. Dalam demokrasi ekonomi
Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua
warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara
adil dan merata (Mubyarto, 2002).
Namun demikian jika paradigma yang
digunakan dirubah dan melihat bahwa peran ekonomi rakyat tidak terbatas pada
peran-peran di sektor formal yang terdokumentasi oleh data pemerintah, maka
peran ekonomi rakyat dalam ekonomi nasional, tidak hanya dalam pertumbuhan akan
tampak lebih nyata. Hal ini dapat dilihat dari besarnya porsi pelaku ekonomi
rakyat dalam struktur ekonomi Indonesia. Dengan jumlah mancapai hampir 100%
dari total unit usaha yang ada di Indonesia, maka dengan sendirinya ekonomi
rakyat terbukti memiliki peran dalam membentuk ‘kue pembangunan’ nasional,
sehingga perannya dalam pertumbuhan pun tidak bisa dianggap kecil.
Tabel 2 Peta Dunia Usaha Indonesia, 1997-2005
|
1997
|
2000
|
2005
|
Usaha kecil
|
Unit usaha (ribu)
|
39704.66
|
39121.35
|
44621.82
|
% thd UKMB
|
99.88
|
99.85
|
99.84
|
Tenaga kerja (ribu orang)
|
57482.69
|
63501.89
|
71187.15
|
Volume ekspor (juta ton)
|
3.28
|
21.14
|
27.69
|
% output thd PDB
|
40.45
|
39.93
|
39.40
|
Usaha menengah
|
Unit usaha (ribu)
|
60.45
|
55.44
|
67.76
|
% thd UKMB
|
0.152
|
0.141
|
0.15
|
Tenaga kerja (ribu orang)
|
7726.26
|
7630.39
|
6491.34
|
Volume ekspor (juta ton)
|
35.99
|
54.31
|
81.43
|
% output thd PDB
|
17.41
|
15.23
|
17.12
|
Usaha besar
|
Unit usaha (ribu)
|
2.09
|
2.01
|
4.17
|
% thd UKMB
|
0.005
|
0.005
|
0.01
|
Tenaga kerja (ribu orang)
|
392.64
|
386.11
|
2590.27
|
Volume ekspor (juta ton)
|
111.85
|
314.52
|
460.46
|
% output thd PDB
|
42.14
|
44.84
|
43.52
|
Sumber: Depkop dan UKM, dikutip dari Adiningsih,
et.al. (2008)
Tabel di atas, menunjukkan bahwa ekonomi rakyat yang antara
lain diwakili usaha kecil dan menengah merupakan bagian terbesar yang membentuk
perekonomian nasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang jauh di atas
usaha besar. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto juga relatif besar,
yaitu 56% PDB nasional, meskipun nilainya belum sebesar jumlah unit usahanya.
Jika dilihat dari komposisi pembentukan volume ekspor yang relatif jauh lebih
kecil dibandingkan usaha besar, maka menjadi jelas, bahwa pelaku usaha kecil
dan menengahlah yang secara aktif menyumbangkan peran pada pemenuhan kebutuhan
dalam negeri yang lebih menguasai hajat hidup masyarakat luas. Dengan melihat
kontribusi yang diberikan ekonomi rakyat melalui usaha pada sektor usaha kecil
dan menengah ini, tidak berlebihan tampaknya jika sektor inilah yang sebenarnya
paling memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Posisinya sebagai penyerap tenaga
kerja di sektor informal dan di sektor-sektor usaha kecil lainnya, secara nyata
juga menunjukkan peran ekonomi kerakyatan sebagai penyerap tenaga kerja yang
tidak bisa dilakukan melalui kerangka kebijakan pemerintah. Bahkan dalam
kerangka yang lebih luas, ekonomi rakyat bisa dianggap sebagai penyelamat
ketika kebijakan pemerintah gagal dan justru menimbulkan masalah baru, seperti
PHK, dan juga ketika terjadi gejolak ekonomi atau faktor lainnya. Pada saat hal
tersebut terjadi, maka pada saat itulah ekonomi rakyat muncul menyelamatkan
perekonomian dengan menyerap tenaga kerja yang keluar dari dunia kerja formal.
Dengan kondisi semacam ini, maka jelas bahwa kontribusi ekonomi rakyat
sebenarnya sangatlah besar bagi perekonomian secara umum, meskipun bentuk dan
cara kerjanya secara formal tidak dilihat atau diakui pemerintah akibat
perbedaan cara pandang dalam melihat masalah ekonomi.
Berdasarkan skala usaha dan
besarnya biaya investasi per unit, tampak bahwa usaha kecil rata-rata hanya
membutuhkan Rp 1,5 juta untuk pembukaan investasi awal. Sedangkan untuk usaha
menengah dibutuhkan sekitar Rp 1,3 miliyar dan untuk usaha besar sebanyak Rp
91,4 miliyar. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan untuk 1 unit usaha besar
kurang lebih bisa digunakan untuk membuka 61.000 unit usaha kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa ekonomi rakyat pada dasarnya memiliki kemampuan untuk survive
yang lebih baik dibandingkan sektor usaha lainnya, sekaligus menunjukkan bahwa
pengembangan dan pemihakan kepada ekonomi rakyat bukanlah hal yang sulit
dilakukan selama terdapat political will yang memadai.
Tabel 3 Rata-rata investasi kegiatan ekonomi
Skala usaha
|
Investasi
(Rp Miliyar)
|
Unit usaha
|
Investasi per unit
(Rp juta)
|
Kecil
|
58.884
|
40.138.823
|
1,5
|
Menengah
|
73.191
|
56.709
|
1.290,6
|
Besar
|
185.043
|
2.024
|
91.424,2
|
Total
|
17.118
|
40.197.556
|
7,9
|
Sumber: Berita Statistik No. 21/VII/24 Maret 2004
dikutip oleh Bappenas, 2004.
Demokrasi
Ekonomi dan Tantangan Demokratisasi
Mengapa proses demokratisasi yang
tengah berlangsung terus-menerus gagal memberikan hasil terbaik bagi
masyarakat? Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi telah menjadi
objek studi yang banyak dibicarakan. Studi yang dilakukan Przeworksi dan
Limongi misalnya menyimpulkan bahwa proyek demokatisasi akan gagal dilaksanakan
bila pembangunan ekonomi (diukur dengan pendapatan per kapita) suatu negara ada
pada level rendah (Juoro, 2004). Dengan asumsi ini negara yang pendapatan per
kapitanya di bawah 1.500 dollar AS sangat mungkin eksperimen demokrasinya hanya
akan bertahan selama depalan tahun untuk kemudian mengalami kegagalan. Hal
senada juga diungkapkan Seymor Martin Lipset yang hasil studinya memberikan
postulat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat terbukanya peluang
demokratisasi di masa mendatang (Collier, 1979). Tanpa ada pertumbuhan ekonomi,
sulit bagi terciptanya pemerintahan dan masyarakat demokatis (Yustika, 2004).
Namun
demikian, studi lain memberikan kesimpulan yang sedikit banyak bertolak
belakang dengan tesis Lipset dan Przeworsko dan Limongi. Tacares dan Wacziarg
misalnya mengemukakan bahwa demokrasi bisa mendukung pertumbuhan ekonomi
mellaui peningkatan akses pada pendidikan, kecilnya ketimpangan pendapatan, dan
rendahnya konsumsi pemerintah. Sehingga dengan demikian terdapat efek dari
demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi meskipun bersifat secara tidak langsung.
Lebih jauh Barro (1996) menjelaskan, peningkatan hak-hak politik pada tahap awal
proses demokratisasi cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi,
meski di negara-negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu
peningkatan demokrasi akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi karena
ada tekanan untuk melakukan redistribusi pendapatan. Secara lebih spesifik
Barro menunjukkan bahwa beberapa indikator pembangunan seperti posisi awal
pendapatan per kapita, pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi, angka
harapan hidup, fertilitas, konsumsi pemerintah, indeks aturan hukum, dan
demokrasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus mengenai
aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh kualitas
birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah untuk membatalkan
kontrak, resiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau dalam
negeri) dan pemeliharaan aturan hukum, digerakkan untuk mengelola kehidupan
bernegara (Yustika, 2004).
Jika tesis Barro ini digunakan
dalam konteks demokrastiasi di Indonesia, dapat kita simpulkan beberapa alasan
mengapa proses demokratisasi yang berjalan belum sepenuhnya memberikan hasil
yang siginifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Pertama proses
demokratisasi yang tengah berlangsung di negara kita saat ini bisa jadi baru
dalam tahap seremoni demokrasi. Dalam artian bahwa proses demokratisasi baru
mewujud dalam bentuk paling awal berupa sebuah proses pemilihan yang melibatkan
seluruh rakyat dan diikuti dengan terbentuknya pemerintahan yang demokratis
karena dipilih langsung oleh rakyat.
Sedangkan tahapan lanjutan dari
proses demokratisasi yang membutuhkan perhatian dari lebih banyak elemen
bangsa, yaitu penegakan hukum, tata pamong yang baik, dan lain sebagainya masih
gagal diterapkan sehingga pemerintahan yang demokratis pun cenderung merupakan
pemerintahan yang korup karena mekanisme demokrasi tidak berjalan dengan baik.
Indikasinya tentu dapat dengan mudah kita lihat dari makin menyebarnya modus
dan pola korupsi yang berlangsung di hampir semua lini kehidupan politik dan
pemerintahan yang menunjukkan gagalnya negara mengatur dan mendistribusikan
kekuasaan untuk kepentingan rakyat.
Kedua, kegagalan proses demokrasi bisa jadi disebabkan
belum siapnya pranata dan institusi politik, pemerintahan, dan ekonomi dengan
sistem demokrasi itu sendiri. Dengan mengacu pada indikator-indikator awal yang
diajukan Barro, kita dapat melihat bahwa meskipun sebagian anggota bangsa ini
telah mengenyam taraf pendidikan yang memadai, namun sebagian besar masih
berada pada situasi yang kurang menguntungkan. Termasuk juga di dalamnya
kualitas kehidupan standar pada masyarakatnya yang masih sangat minimal,
sehingga belum memungkinkan terjadinya partisipasi aktif dalam proses
demokratisasi yang memberi peluang bagi peningkatan kualitas kehidupan.
Ketiga, pilihan demokrasi yang kurang sesuai dengan
kemajemukan dan karakteristik bangsa. Akibatnya pola-pola penyaluran kehendak
dan kepentingan rakyat selalu terbentur dengan oligarki partai politik di satu
sisi dan berakibat pada terus meningkatnya tingkat golput, sebagai ketidak
ikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan, menunjukkan bahwa demokrasi yang
berlangsung baru sebatas demokrasi elitis yang melibatkan sejumlah kecil
pimpinan politik dan belum melibatkan rakyat secara keseluruhan. Akibatnya
pilihan kebijakan yang dirumuskan antara ekskutif dan legislatif lebih
merupakan kompromi politik untuk kepentingan para pimpinan partai politik dan
belum mencerminkan kebutuhan rakyat akan kualitas perundangan yang memadai.
Jika kondisi-kondisi ini kita
terima, maka dengan sendirinya proses pembangunan ekonomi nasional yang selama
ini berlangsung sebenarnya belum merupakan buah dari proses demokratisasi yang
juga sama-sama berlangsung, tapi baru merupakan ‘pemanis kebijakan’ yang dibuat
baik oleh pemerintah maupun kompromi legislatif, semata-mata untuk kepentingan
kekuasaan dan bukan untuk kepentingan rakyat. Ini berarti, proses demokratisasi
yang sedang dibangun belum akan memberikan dampak maksimal bagi kehidupan
ekonomi rakyat selama mekanisme demokrasi yang sebenarnya tidak diparaktekkan
dan menjadi perhatian partai dan pemerintah. Dengan kata lain, demokrasi yang
riil belum benar-benar diterapkan dalam konteks politik Indonesia saat ini.
Hanya dengan demokrasi yang benar-benar terlaksana dengan baik, rakyat mampu
berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi dirinya (Devine, 1995). Tanpa hal ini, maka demokrasi yang terjadi
baru berupa demokrasi formal dan seremonial yang selain memakan banyak biaya,
juga tidak menjamin terciptanya pemerintahan yang efektif. Pengalaman
demokratisasi yang tengah berlangsung di Indonesia, secara jelas menunjukkan
bagaimana demokrasi formal dan seremonial inilah yang mendominasi proses
pengambilan keputusan yang berlangsung. Sebagaimana pernah ditulis Bung Hatta ‘demokrasi
dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung djawab pada rakjat. Dengan tidak
ada rasa tanggung djawab, tak mungkin ada demokrasi.‘ (Hatta, 1954:218)
Penutup
Paparan di atas menunjukkan bahwa meskipun telah
dicita-citakan dalam ideologi bangsa dan diformulasikan dalam konstitusi,
bangunan demokrasi ekonomi masih jauh dari mewujud dalam kehidupan ekonomi
nasional. Ekonomi rakyat sebagai representasi perekonomian nasional terbukti
belum menjadi pilihan kebijakan pemerintah sehingga terjadi biasa dalam
kebijakan ekonomi. Proses demokratisasi yang berlangsung juga menunjukkan arah
yang justru menunjukkan trend kurang menggembirakan, karena terbukti
menghasilkan kinerja yang negatif dalam kemampuan pemerintah memberikan
pelayanan kepada masyarakat dengan indikasi makin terpuruknya kemampuan tata
kelola pemerintahan.
Dengan melihat berbagai kondisi ini, maka upaya
memperkuat demokrasi melalui ekonomi rakyat tidak akan dapat dipisahkan dari
upaya memperkuat proses demokratisasi yang berlangsung sehingga menghasilkan
demokrasi yang benar-benar mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih dan
mekanisme partisipasi rakyat yang efektif mengkomunikasikan kepentingan dan
kehendak rakyat. Tanpa adanya demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang
bersih, akan sulit mengharapkan terjadinya penguatan ekonomi rakyat sebagai
basis demokrasi ekonomi.
Daftar
Pustaka
Adiningsih, Sri, et.el.. 2008. Satu Dekade
Pasca-Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu?. Kanisius: Yogyakarta.
Barro, Robert J., 1996. Democracy and Growth, Journal
of Economic Growth, 1:1-27(March 1996).
Hamid, Edy Suandi,2005, Sistem Ekonomi, Utang Luar
Negeri, dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia, UII Press: Yogyakarta.
______________,2006, Ekonomi Indonesia: Dari
Sentralisasi ke Desentralisasi, UII Press: Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati dan Albert Wijaya, 1981, ‘Ekonomi
pancasila, Sistem Ekonomi indonesia, dan Hukum Ekonomi Pembangunan‘ Prisma
Januari 1981, LP3ES: Jakarta
Hatta, Mohammad, 1954, Kumpulan Karangan III,
Balai Pustaka: Jakarta.
Juoro, Umar, 2004, Demokrasi Membutuhkan Ekonomi.
Kompas 3 September 2004.
Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi, 2008, Governance
Matters VII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2007, Policy
Research Working Paper 4654. The World Bank Development Research Group
Macroeconomics and Growth Team and World Bank Institute Global Governance
Program June 2008.
Yustika, Ahmad Erani, 2004, Demokrasi Prasyarat
Ekonomi? Kompas, 15 September 2004.
Perkembangan
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Strategi dan Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Indonesia di Masa yang Akan Datang
Gambaran
yang lebih jelas tentang arah yang dituju dalam pembangunan Indonesia dapat
dibaca dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Dalam RPJPN tersebut telah ditetapkan bahwa visi pembangunan adalah “Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur”. “Mandiri” artinya mampu mewujudkan
kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada
kemampuan dan kekuatan sendiri. “Maju” dapat diukur dari kualitas SDM, tingkat
kemakmuran, kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum. Sedangkan
“Adil” dicerminkan oleh tidak adanya diskrimasi dalam bentuk apapun, baik antar
individu, gender, maupun wilayah. Sementara “Makmur” dapat diukur dari tingkat
pemenuhan seluruh kebutuhan hidup.
Dalam
RPJPN 2005 – 2025 juga telah ditetapkan misi pembangunan sebagai berikut :
- Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
- Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
- Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
- Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
- Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
- Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
- Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri,
maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
- Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia
internasional.
Untuk mencapai misi tersebut, telah ditetapkan pula 4 tahapan
pembangunannya, yaitu :
- Dalam RPJMN 1 (2005 – 2009) dilakukan penataan kembali NKRI,
membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan
tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
- RPJMN 2 (2010 – 2014) ditujukan untuk memantapkan penataan
kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, dan
memperkuat daya saing perekonomian.
- Sedangkan target dalam RPJMN 3 (2015 – 2019) adalah
memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan
keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM
yang berkualitas, serta kemampuan iptek.
- Pada tahapan terakhir, RPJMN 4 (2020 – 2024) diharapkan
terwujudnya masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur
melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur
perekonomian yang kokoh belandaskan keunggulan kompetitif.
Dalam pembangunan daya saing bangsa, RPJPN 2005 – 2025 menetapkan
arahnya sebagai berikut :
- Pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
- Penguatan perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya
saing global.
- Penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.
- Pembangunan sarana dan prasarana yang memadai dan maju.
- Reformasi hukum dan birokrasi.
Selain itu ada pula rencana dan strategi pembangunan
ekonomi Indonesia melalui pidato Presiden Yudhoyono, Jakarta 14/8/09: ”Sudah saatnya kita memilih dan kemudian menjalankan
paradigma dan grand strategy pembangunan ekonomi kita yang lebih tepat. Menurut
Presiden, kita harus memetik pelajaran dari krisis perekonomian besar yang
terjadi sekarang ini, dan menelurkan pikiran-pikiran besar tentang arah dan
strategi pembangunan ekonomi kita. Pertama-tama, pembangunan ekonomi Indonesia
ke depan nanti mesti lebih memadukan pendekatan sumber daya (resources),
pengetahuan(knowledge), dan budaya (culture) yang kita miliki. Ekonomi Indonesia, katanya, ekonomi 230 juta manusia
yang akan terus bertambah, ekonomi tanah air seluas 8 juta km persegi, juga
harus memiliki kesinambungan. “Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut
adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar
membawa rasa adil,” kata Presiden SBY. Ke
depan, lanjut SBY, kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri, pasar dalam
negeri, dan tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor sebagai sumber
pertumbuhan kita. “Oleh karena itu strategi yang hanya bersifat export oriented
tentu bukanlah pilihan kita,” katanya.
Di sisi lain, kata SBY, ekonomi
nasional mestilah berdimensi kewilayahan, dengan pertumbuhan ekonomi yang
tersebar di seluruh tanah air. “Daerah-daerah harus menjadi kekuatan ekonomi
lokal. Sumber-sumber investasi dan pendanaan dalam negeri juga mesti kita
perkuat. Kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi
tertentu harus terus kita perkuat, terutama pangan dan energi,” katanya.
Menurut SBY, ekonomi nasional mesti dikembangkan
berdasarkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan sekaligus
keunggulan kompetitif (competitive advantage). Dan terakhir, diperlukan ekonomi
nasional yang dilandasi oleh mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga
memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan.
Sumber:
Perkembangan
Ekonomi Indonesia : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, ada
kemungkinan target pertumbuhan ekonomi indonesia dalam RAPBN 2010 naik dari target yang ditetapkan
sebesar 5,0 persen. “Kesepakatan dengan DPR kan kisarannya 5-6 persen, nanti
kita lihat pembahasan lebih lanjut dengan DPR,” katanya usai upacara peringatan
HUT ke-64 Kemerdekaan RI di Departemen Keuangan Jakarta, Senin (17/8). Kenaikan
target pertumbuhan ekonomi RAPBN 2010, kata Menkeu, juga dimungkinkan dengan
perkembangan sampai semester I 2009 yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi lebih
tinggi dari perkiraan.
“Tampaknya kondisi semester I tidak seburuk yang
dibayangkan dan semester II kita akan hati-hati meskipun dari sisi pertumbuhan
ekonomi pada sektor investasi kita harus tetap pantau dengan baik,” katanya. Menurut
dia, penetapan target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2010 lebih dari lima
persen bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, namun harus dilihat dulu
faktor-faktor yang menyumbangnya.
Menurut FPKS, capain itu tentu
karena berbagai upaya dan langkah kebijakan yang diambil pemerintah. Oleh
karena itu pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5 persen pada 2010, perlu didorong
menjadi lebih besar. FPG melalui juru bicaranya Kahar Muzakir mengusulkan agar
pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 6,0 persen. Sementara untuk target
inflasi, diusulkan sebesar 5,0 persen, nilai tukar rupiah Rp10.000 perdolar AS
dan rata-rata tingkat bunga SBI 3 bulan 6,5 persen. Ketiganya sama dengan angka
di Nota Keuangan dan RAPBN 2010. Untuk harga minyak, FPG mengusulkan angka 65
dolar AS perbarel dari angka di Nota Keuangan sebesar 60 dolar AS.
Keuangan
Pusat dan Daerah : Setelah
sebelum ini kita sudah bahas mengenai Permasalahan
Ekonomi di Indonesia, postingan
kali ini saya ingin berbagi kepada teman-teman tentang sistem dan undang undang
yang berlaku di Indonesia dalam hal Keuangan
Pusat dan Daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi
daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah
secara proporional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadian, serta perimbangan keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Pusat dan Daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Sumber
pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam
wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil
restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berbagai laporan keuangan daerah
ditempatkan dalam dokumentasi daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat
sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu,
untuk mendukung kelancaran pelaksanaan sistem alokasi kepada daerah, diatur
pula informasi keuangan daerah dan menetapkan sekretariat Bidang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perilaku hidup bersih
dan sehat.Berdasarkan uraian diatas, undang-undang ini mempunya tujuan pokok
antara lain :
a.
Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah
b. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti. Youtube upin dan Ipin
c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi
daerah dengan penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan
partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat , mengurangi
kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab
otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari
wilayah daerah yang bersangkutan. Download
Game Blackberry Gratis
d. menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah.
e. mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah.
f. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Politik
Lokal : Akhir-akhir ini pesta
demokrasi daerah-daerah di Indonesia telah terdengar. Hiruk pikuk dan segala
macam hingar bingarnya setidaknya telah menyedot perhatian masyarakat untuk
iukt berpartisipasi memilih pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Muncul fenomena baru dalam
pemilihan kepala daerah kali ini. Yaitu : munculnya dinasti politik lokal.
Jika
ditelusuri lebih lanjut, ternyata bakal calon yang berhasil lolos dalam
persyaratan menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang di topang oleh
tumpukan rupiah. Demokrasi tidak bisa dinikmati oleh orang miskin. Orang miskin
dilarang menjadi pemimpin. Di sinilah mereka yang termasuk ditopang tumpukan
rupiah adalah Istri dari mantan kepala daerah. Peluang menjadi kepala daerahpun
terbuka karena pemilih cenderung berikap pragmatis. Siapa yang lebih banyak
atau lebih dahulu memberikan “dana politik” maka dialah yang dipilih. Alhasil,
daerah-daerah tak ubahnya seperti kerajaan. Habis suami, muncul istri. Habis
istri muncul anak. dinasti politik lokal.
Oleh Karena
itulah perlu ada kebijakan tersendiri atau amandemen Undang-undang No 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah. Selain itu, partai juga harus melihat
sumbangsih yang dilakukan kadernya. Keringat yang sudah dikucurkan oleh
kadernya untuk mempertaruhkan nama baik partainya adalah pengabdian. Terlepas
dari adanya kepentingan. Dengan melihat itu, partai politik bisa lebih
mengedepankan kader partai daripada mengusung istri mantan kepala daerah.
Dengan
berpatokan pada tiga kekurangan diatas, dinasti politik lokal harus segera
diatasi. Jika dinasti politik lokal terus saja dibiarkan. Bisa jadi,
pemilihan-pemilhan kepala daerah yang masih belum dilaksanakan akan juga
dicederai oleh dinasti politik lokal. Selain itu, jika dinasti politik lokal terus dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan
merambat pada dinasti politik nasional. Bukankah akhir-akhir ini merebak isu
SBY, akan digantikan oleh Istrinya? Tentu ini, bukan hal yang mustahil untuk
terjadi.
ekonomiindonesia21.wordpress.com - Cached
Tanggapan:
Dengan
demikian, demokrasi ekonomi sebagaimana gambaran ideal perekonomian nasional
tidak akan lepas dari penguatan pemerintahan demokratis yang menjadi pengatur
dan pengarah berjalannya ekonomi nasional. Tanpa pemerintahan yang kuat (dalam
artian mampu mendistribusikan hak & kewajiban ekonomi masing-masing ekonomi
secara adil), maka ekonomi yang benar-benar demokratis akan sulit terwujud.
Pengalaman Indonesia selama ini menunjukkan proses demokratisasi yang
berlangsung belum sepenuhnya menunjukkan arah yang positif bagi penguatan
pemerintah.
Serta
kemampuan ekonomi rakyat dalam mengurangi dampak ekonomi dari kegagalan
kebijakan pemerintah antara lain juga bisa dilihat dari peran ekonomi rakyat
dalam mengurangi penduduk miskin. Melalui unit-unit usaha ekonomi rakyatlah,
tenaga kerja tak terdidik di tanah air diserap lebih banyak sehingga angkanya
tidak terlalu membengkak dan dampak sosial yang mungkin ditimbulkan dapat
ditekankan secara optimal. Dalam kerangka ini, pelaku usaha ekonomi rakyat
mampu secara efektif bekerja dalam perekonomian nasional dan memberikan
kontribusi positif baik disadari ataupun tidak. Ini sekaligus menunjukkan
karakter kemandirian yang melekat demikian kuat pada ekonomi rakyat sebenarnya
bisa terus dikembangkan sehingga kontribusi yang lebih besar dapat diberikan.