Minggu, 07 April 2013

Tugas 2 Perekonomian Indonesia

Memperkuat Basis Demokrasi Ekonomi Melalui Pengembangan Ekonomi Rakyat

Pendahuluan
               Sebuah perekonomian yang menjunjung tinggi asas-asas demokrasi, yang mampu memberikan peluang yang sama kepada segenap rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, selalu menjadi harapan rakyat Indonesia. Pengalaman ekonomi Indonesia selama ini menunjukkan masih mahalnya demokrasi ekonomi bagi rakyat, sehingga sebagian besar aktivitas ekonomi masih didominasi pemilik modal dan menyisakan hanya sedikit ruang bagi rakyat secara keseluruhan. Hal ini masih ditambah dengan posisi pemerintah yang belum secara optimal mampu mengalokasikan sumber daya ekonomi secara adil kepada seluruh pelaku ekonomi. Bahkan yang kerap terjadi adalah kalahnya pemerintah terhadap tekanan dan permintaan para pemilik modal, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak hanya kepada segelintir orang, dan menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi sebagian besar rakyat.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya mengembalikan demokrasi ekonomi sebagai dasar perekonomian nasional pada posisi idealnya sehingga mampu mengembalikan harapan rakyat akan sebuah sistem ekonomi yang berkeadilan sekaligus memberikan ruang yang lebih luas bagi pengembangan kehidupan sebagian besar rakyat. Dengan melihat pengembangan ekonomi rakyat, tulisan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana demokrasi ekonomi di Indonesia berkembang dan upaya-upaya strategis dalam meningkatkan perannya bagi perekonomian nasional.
Demokrasi Ekonomi di Indonesia
Dalam setiap sistem ekonomi, setidaknya terdapat tiga permasalahan pokok yang harus dipecahkan, yaitu apa yang harus diproduksi (what), bagaimana barang tersebut diproduksi (how), dan untuk siapa barang tersebut diproduksi (for whom). Mengingat ekonomi merupakan bagian dari kehidupan sosial sebuah masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki kesepakatan institusi yang beragam dalam menentukan bagaimana masalah-masalah dalam perekonomian tersebut dipecahkan. Thus there is need for a different economics-or different chapter in economics-for each kind of society, demikian antara lain Milton Friedman menjelaskan. Dan dalam konteks Indonesia, pilihan memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa dan menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara, dengan sendirinya menjelaskan bagaimana sebuah sistem ekonomi juga dibangun sesuai dengan kekhususan watak dan jiwa bangsa.
               Demokrasi baik sebagai sebuah sistem pemerintahan Indonesia yang dijiwai ideologi bangsa, maupun sebagai sebuah semangat yang mendasari sistem ekonomi nasional, tidak bisa dilepaskan dari Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat dan kelima yang dijiwai semangat kerakyatan dan keadilan merupakan ruh yang menjadi asas dan watak bagi demokrasi ekonomi Indonesia. Dalam UUD 1945, baik sebelum maupun setelah diamandemen, semangat membangun demokrasi ekonomi yang lebih berkeadilan, tampak semakin jelas. Butir-butir tujuan nasional sebagaimana disebukan dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jauh, Pasal 33 sebagai representasi dari perekonomian nasional secara global memberikan petunjuk (guidelines) bagaimana sistem ekonomi yang demokratis bekerja dalam perekonomian nasional.
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
               Kelima ayat pada Pasal 33 tersebut menggambarkan betapa kolektivitas dalam perekonomian demikian diutamakan. Masyarakat Indonesia secara bersama-sama dilibatkan dalam proses produksi, untuk kepentingan bersama atau sebagian hasil produksi tersebut untuk dinikmati masyarakat luas. Kata ‘bersama’, ‘orang banyak’, dan ‘kemakmuran rakyat’ menggambarkan bagaimana masyarakat luas menjadi unsur utama dalam kegiatan perekonomian yang diharapkan. Bila nilai-nilai kemanusiaan yang ditonjolkan adalah keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, maka sistem ekonomi tersebut memberi kesempatan pada individu-individu mengambil inisiatif untuk mencari dan menentukan sendiri tingkat kebutuhannya (konsumsi dan produksi) selama tidak merugikan anggota masyarakat lainnya (Hartono dan Wijaya, 1981:14 dalam Hamid, 2004: 40).
Pasal 33 juga secara eksplisit menggambarkan bagaimana struktur ekonomi dilihat dari kepemilikan usaha diatur secara adil berdasarkan konstitusi. Negara yang diwakili Bada Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan pemain utama yang mengelola sektor-sektor vital dalam perekonomian. Secara tidak langsung, hal ini juga mengindikasikan perlunya penguatan institusi negara dalam mengelola kekayaan alam, sehingga tidak tergantung pada pemilik modal asing. Setelah dikurangi sektor-sektor vital bagi rakyat banyak, di situlah ruang bagi sektor swasta harus bergerak. Disinilah diperlukan suatu mekanisme kontrol yang transparan sehingga tidak terjadi komposisi yang salah pada struktur ekonomi ini, agar dampak negatif sebagaimana tampak pada pengalaman di masa krisis tidak terulang. Asas kekeluargaan sebagai ruh utama perekonomian meniscayakan koperasi sebagai bangun usaha yang harusnya menjadi pilar utama ekonomi nasional.
               Demokrasi ekonomi sebagai dasar dari perekonomian nasional juga dengan sangat terperinci dijelaskan mengandung prinsip-prinsip pokok. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip ini secara umum menunjukkan pentingnya sebuah bangun ekonomi yang didasarkan atas semangat kekeluargaan dan kerjasama, yang dikelola secara efektif fan efisien sehingga mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil. Lebih dari itu, demokrasi ekonomi yang dibangun haruslah mampu menjaga kelanjutan hidup masyarakat dan sumber daya alam yang ada, dan meningkatkan kemandirian bangsa. Dan yang tidak kalah penting, proses demokrasi yang terus berlangsung harus menjamin keseimbangan antara kemajuan ekonomi di satu sisi dan kesatuan ekonomi nasional di sisi lain.
               Jika yang dirujuk adalah proses demokratisasi yang masih terus berlangsung, akan nampak betapa proses demokratisasi yang yang berjalan memang belum begitu mampu memberikan hasil maksimal dalam upaya memperkuat posisi pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional. Hasil studi Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2008) yang meneliti indikator tata pamong pemerintah menunjukkan alasan mengapa demokrasi yang berlangsung belum memberikan hasil maksimal. Hasil dari studi terhadap beberapa indikator yang melibatkan data dari sekitar rata-rata 194 negara untuk setiap indikatornya ini menunjukkan bahwa proses panjang demokrasi di Indonesia setelah reformasi berlangsung belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Tabel 1 Perkembangan Indikator Tata Pamong Indonesia, 1996 dan 2007
World Governance Indicators
1996
2007
Voice and Accountability
-1.17
-0.17
Political Stability & Absence of Violence/Terrorism
-0.81
-1.13
Government Effectiveness
0.14
-0.41
Regulatory Quality
0.35
-0.3
Rule of Law
-0.37
-0.71
Control of Corruption
-0.55
-0.72
Sumber: Diolah dari lampiran Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2008).
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dari enam indikator tata pamong yang dinilai, yaitu voice and accountability, political stability and absence of violence/terorrism, government effectiveness, regulatory quality, rule of law dan control of curroption, hanya voice and accountability yang menunjukkan perubahan signifikan antara tahun 1996 dan 2007. Hal ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang terus berlangsung belum mampu menciptakan pemerintahan yang secara efektif mampu menjaga stabilitas dan keamanan, mengelola pemerintahan secara efektif, membuat perundangan yang berkualitas, menegakkan hukum, dan mencegah korupsi. Dengan kondisi pemerintahan semacam ini, nampak wajar jika kemudian performa ekonomi tidak sepenuhnya berjalan maksimal, karena kualitas kebijakan dan implementasinya di lapangan memang susah untuk bisa diharapkan memberikan hasil-hasil yang maksimal bagi kepentingan rakyat banyak.
Pengembangan Ekonomi Rakyat
               Ekonomi rakyat sering disebut dengan berbagai istilah lain yang terkait, yaitu perekonomian rakyat ataupun ekonomi kerakyatan. Ini mengandung makna yang spesifik. Jika ekonomi rakyat menggambarkan tentang pelaku ekonominya, maka perekonomian rakyat lebih menunjuk pada objek atau situasinya. Makna yang lebih luas ada dalam ekonomi kerakyatan yang mencerminkan suatu bagian dan sistem ekonomi. Ekonomi kerakyatan dapat dikatakan sebagai subsistem dari Sistem Ekonomi Pancasila (Hamid, 2006:33). Dilihat secara harfiah, kata rakyat merujuk pada semua orang dalam suatu wilayah atau negara. Dengan demikian, jika dilihat dari terminologi ini, maka yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah ekonomi seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, dalam konteks yang berkembang, istilah ekonomi rakyat muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap perekonomian nasional yang biasa kepada unit-unit usaha besar. Oleh karena itu, makna ekonomi rakyat lebih merujuk pada ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia, yang umumnya masih tergolong ekonomi lemah, bercirikan subsisten (tradisional), dengan modal dan tenaga kerja keluarga, serta teknologi sederhana (Hamid, 2006:33-34).
               Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi konglomerat dalam sifatnya yang tidak kapitalistik, dimana ekonomi konglomerat yang kapitalistik mengedepankan pengejaran keuntungan tanpa batas dengan cara bersaing, kalau perlu bahkan saling mematikan (free fight competition). Sebaliknya dalam ekonomi rakyat semangat yang lebih menonjol adalah kerjasama, karena hanya dengan kerjasama berdasarkan asas kekeluargaan tujuan usaha  dapat dicapai (Mubyarto, 1998: 40-46 dalam Hamid, 2006:33-34).
               Istilah ekonomi rakyat sendiri merupakan istilah ekonomi sosial (social economics) sekaligus istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen. Kegiatan produksi –dan bukan konsumsi-lah yang menjadi titik tekan dalam hal ini, sehingga buruh pabrik tidak termasuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, mengingat buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Dengan demikian meskipun pelaku usaha UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dapat dimasukkan dalam kategori ekonomi rakyat, namun bukan berarti bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai “usaha” atau “perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan (Mubyarto, 2002). Ini menunjukkan bahwa ekonomi rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi bagi masyarakat kecil, orang kecil, wong cilik, yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak juga secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia biasa disebut sebagai sektor informal, “underground economy“, atau “extralegal sector“. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (Mubyarto, 2002).
               Namun demikian jika paradigma yang digunakan dirubah dan melihat bahwa peran ekonomi rakyat tidak terbatas pada peran-peran di sektor formal yang terdokumentasi oleh data pemerintah, maka peran ekonomi rakyat dalam ekonomi nasional, tidak hanya dalam pertumbuhan akan tampak lebih nyata. Hal ini dapat dilihat dari besarnya porsi pelaku ekonomi rakyat dalam struktur ekonomi Indonesia. Dengan jumlah mancapai hampir 100% dari total unit usaha yang ada di Indonesia, maka dengan sendirinya ekonomi rakyat terbukti memiliki peran dalam membentuk ‘kue pembangunan’ nasional, sehingga perannya dalam pertumbuhan pun tidak bisa dianggap kecil.
Tabel 2 Peta Dunia Usaha Indonesia, 1997-2005

1997
2000
2005
Usaha kecil
Unit usaha (ribu)
39704.66
39121.35
44621.82
% thd UKMB
99.88
99.85
99.84
Tenaga kerja (ribu orang)
57482.69
63501.89
71187.15
Volume ekspor (juta ton)
3.28
21.14
27.69
% output thd PDB
40.45
39.93
39.40
Usaha menengah
Unit usaha (ribu)
60.45
55.44
67.76
% thd UKMB
0.152
0.141
0.15
Tenaga kerja (ribu orang)
7726.26
7630.39
6491.34
Volume ekspor (juta ton)
35.99
54.31
81.43
% output thd PDB
17.41
15.23
17.12
Usaha besar
Unit usaha (ribu)
2.09
2.01
4.17
% thd UKMB
0.005
0.005
0.01
Tenaga kerja (ribu orang)
392.64
386.11
2590.27
Volume ekspor (juta ton)
111.85
314.52
460.46
% output thd PDB
42.14
44.84
43.52
Sumber: Depkop dan UKM, dikutip dari Adiningsih, et.al. (2008)
Tabel di atas, menunjukkan bahwa ekonomi rakyat yang antara lain diwakili usaha kecil dan menengah merupakan bagian terbesar yang membentuk perekonomian nasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang jauh di atas usaha besar. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto juga relatif besar, yaitu 56% PDB nasional, meskipun nilainya belum sebesar jumlah unit usahanya. Jika dilihat dari komposisi pembentukan volume ekspor yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan usaha besar, maka menjadi jelas, bahwa pelaku usaha kecil dan menengahlah yang secara aktif menyumbangkan peran pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang lebih menguasai hajat hidup masyarakat luas. Dengan melihat kontribusi yang diberikan ekonomi rakyat melalui usaha pada sektor usaha kecil dan menengah ini, tidak berlebihan tampaknya jika sektor inilah yang sebenarnya paling memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
               Posisinya sebagai penyerap tenaga kerja di sektor informal dan di sektor-sektor usaha kecil lainnya, secara nyata juga menunjukkan peran ekonomi kerakyatan sebagai penyerap tenaga kerja yang tidak bisa dilakukan melalui kerangka kebijakan pemerintah. Bahkan dalam kerangka yang lebih luas, ekonomi rakyat bisa dianggap sebagai penyelamat ketika kebijakan pemerintah gagal dan justru menimbulkan masalah baru, seperti PHK, dan juga ketika terjadi gejolak ekonomi atau faktor lainnya. Pada saat hal tersebut terjadi, maka pada saat itulah ekonomi rakyat muncul menyelamatkan perekonomian dengan menyerap tenaga kerja yang keluar dari dunia kerja formal. Dengan kondisi semacam ini, maka jelas bahwa kontribusi ekonomi rakyat sebenarnya sangatlah besar bagi perekonomian secara umum, meskipun bentuk dan cara kerjanya secara formal tidak dilihat atau diakui pemerintah akibat perbedaan cara pandang dalam melihat masalah ekonomi.
               Berdasarkan skala usaha dan besarnya biaya investasi per unit, tampak bahwa usaha kecil rata-rata hanya membutuhkan Rp 1,5 juta untuk pembukaan investasi awal. Sedangkan untuk usaha menengah dibutuhkan sekitar Rp 1,3 miliyar dan untuk usaha besar sebanyak Rp 91,4 miliyar. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan untuk 1 unit usaha besar kurang lebih bisa digunakan untuk membuka 61.000 unit usaha kecil. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi rakyat pada dasarnya memiliki kemampuan untuk survive yang lebih baik dibandingkan sektor usaha lainnya, sekaligus menunjukkan bahwa pengembangan dan pemihakan kepada ekonomi rakyat bukanlah hal yang sulit dilakukan selama terdapat political will yang memadai.

Tabel 3 Rata-rata investasi kegiatan ekonomi
Skala usaha
Investasi
(Rp Miliyar)
Unit usaha
Investasi per unit
(Rp juta)
Kecil
58.884
40.138.823
1,5
Menengah
73.191
56.709
1.290,6
Besar
185.043
2.024
91.424,2
Total
17.118
40.197.556
7,9
Sumber: Berita Statistik No. 21/VII/24 Maret 2004 dikutip  oleh Bappenas, 2004.
Demokrasi Ekonomi dan Tantangan Demokratisasi
               Mengapa proses demokratisasi yang tengah berlangsung terus-menerus gagal memberikan hasil terbaik bagi masyarakat? Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi telah menjadi objek studi yang banyak dibicarakan. Studi yang dilakukan Przeworksi dan Limongi misalnya menyimpulkan bahwa proyek demokatisasi akan gagal dilaksanakan bila pembangunan ekonomi (diukur dengan pendapatan per kapita) suatu negara ada pada level rendah (Juoro, 2004). Dengan asumsi ini negara yang pendapatan per kapitanya di bawah 1.500 dollar AS sangat mungkin eksperimen demokrasinya hanya akan bertahan selama depalan tahun untuk kemudian mengalami kegagalan. Hal senada juga diungkapkan Seymor Martin Lipset yang hasil studinya memberikan postulat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat terbukanya peluang demokratisasi di masa mendatang (Collier, 1979). Tanpa ada pertumbuhan ekonomi, sulit bagi terciptanya pemerintahan dan masyarakat demokatis (Yustika, 2004).
Namun demikian, studi lain memberikan kesimpulan yang sedikit banyak bertolak belakang dengan tesis Lipset dan Przeworsko dan Limongi. Tacares dan Wacziarg misalnya mengemukakan bahwa demokrasi bisa mendukung pertumbuhan ekonomi mellaui peningkatan akses pada pendidikan, kecilnya ketimpangan pendapatan, dan rendahnya konsumsi pemerintah. Sehingga dengan demikian terdapat efek dari demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi meskipun bersifat secara tidak langsung. Lebih jauh Barro (1996) menjelaskan, peningkatan hak-hak politik pada tahap awal proses demokratisasi cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, meski di negara-negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu peningkatan demokrasi akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi karena ada tekanan untuk melakukan redistribusi pendapatan. Secara lebih spesifik Barro menunjukkan bahwa beberapa indikator pembangunan seperti posisi awal pendapatan per kapita, pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup, fertilitas, konsumsi pemerintah, indeks aturan hukum, dan demokrasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus mengenai aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh kualitas birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah untuk membatalkan kontrak, resiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau dalam negeri) dan pemeliharaan aturan hukum, digerakkan untuk mengelola kehidupan bernegara (Yustika, 2004).
               Jika tesis Barro ini digunakan dalam konteks demokrastiasi di Indonesia, dapat kita simpulkan beberapa alasan mengapa proses demokratisasi yang berjalan belum sepenuhnya memberikan hasil yang siginifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Pertama proses demokratisasi yang tengah berlangsung di negara kita saat ini bisa jadi baru dalam tahap seremoni demokrasi. Dalam artian bahwa proses demokratisasi baru mewujud dalam bentuk paling awal berupa sebuah proses pemilihan yang melibatkan seluruh rakyat dan diikuti dengan terbentuknya pemerintahan yang demokratis karena dipilih langsung oleh rakyat.
               Sedangkan tahapan lanjutan dari proses demokratisasi yang membutuhkan perhatian dari lebih banyak elemen bangsa, yaitu penegakan hukum, tata pamong yang baik, dan lain sebagainya masih gagal diterapkan sehingga pemerintahan yang demokratis pun cenderung merupakan pemerintahan yang korup karena mekanisme demokrasi tidak berjalan dengan baik. Indikasinya tentu dapat dengan mudah kita lihat dari makin menyebarnya modus dan pola korupsi yang berlangsung di hampir semua lini kehidupan politik dan pemerintahan yang menunjukkan gagalnya negara mengatur dan mendistribusikan kekuasaan untuk kepentingan rakyat.
Kedua, kegagalan proses demokrasi bisa jadi disebabkan belum siapnya pranata dan institusi politik, pemerintahan, dan ekonomi dengan sistem demokrasi itu sendiri. Dengan mengacu pada indikator-indikator awal yang diajukan Barro, kita dapat melihat bahwa meskipun sebagian anggota bangsa ini telah mengenyam taraf pendidikan yang memadai, namun sebagian besar masih berada pada situasi yang kurang menguntungkan. Termasuk juga di dalamnya kualitas kehidupan standar pada masyarakatnya yang masih sangat minimal, sehingga belum memungkinkan terjadinya partisipasi aktif dalam proses demokratisasi yang memberi peluang bagi peningkatan kualitas kehidupan.
Ketiga, pilihan demokrasi yang kurang sesuai dengan kemajemukan dan karakteristik bangsa. Akibatnya pola-pola penyaluran kehendak dan kepentingan rakyat selalu terbentur dengan oligarki partai politik di satu sisi dan berakibat pada terus meningkatnya tingkat golput, sebagai ketidak ikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan, menunjukkan bahwa demokrasi yang berlangsung baru sebatas demokrasi elitis yang melibatkan sejumlah kecil pimpinan politik dan belum melibatkan rakyat secara keseluruhan. Akibatnya pilihan kebijakan yang dirumuskan antara ekskutif dan legislatif lebih merupakan kompromi politik untuk kepentingan para pimpinan partai politik dan belum mencerminkan kebutuhan rakyat akan kualitas perundangan yang memadai.
               Jika kondisi-kondisi ini kita terima, maka dengan sendirinya proses pembangunan ekonomi nasional yang selama ini berlangsung sebenarnya belum merupakan buah dari proses demokratisasi yang juga sama-sama berlangsung, tapi baru merupakan ‘pemanis kebijakan’ yang dibuat baik oleh pemerintah maupun kompromi legislatif, semata-mata untuk kepentingan kekuasaan dan bukan untuk kepentingan rakyat. Ini berarti, proses demokratisasi yang sedang dibangun belum akan memberikan dampak maksimal bagi kehidupan ekonomi rakyat selama mekanisme demokrasi yang sebenarnya tidak diparaktekkan dan menjadi perhatian partai dan pemerintah. Dengan kata lain, demokrasi yang riil belum benar-benar diterapkan dalam konteks politik Indonesia saat ini. Hanya dengan demokrasi yang benar-benar terlaksana dengan baik, rakyat mampu berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mempengaruhi dirinya (Devine, 1995). Tanpa hal ini, maka demokrasi yang terjadi baru berupa demokrasi formal dan seremonial yang selain memakan banyak biaya, juga tidak menjamin terciptanya pemerintahan yang efektif. Pengalaman demokratisasi yang tengah berlangsung di Indonesia, secara jelas menunjukkan bagaimana demokrasi formal dan seremonial inilah yang mendominasi proses pengambilan keputusan yang berlangsung. Sebagaimana pernah ditulis Bung Hatta ‘demokrasi dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung djawab pada rakjat. Dengan tidak ada rasa tanggung djawab, tak mungkin ada demokrasi.‘ (Hatta, 1954:218)
Penutup
Paparan di atas menunjukkan bahwa meskipun telah dicita-citakan dalam ideologi bangsa dan diformulasikan dalam konstitusi, bangunan demokrasi ekonomi masih jauh dari mewujud dalam kehidupan ekonomi nasional. Ekonomi rakyat sebagai representasi perekonomian nasional terbukti belum menjadi pilihan kebijakan pemerintah sehingga terjadi biasa dalam kebijakan ekonomi. Proses demokratisasi yang berlangsung juga menunjukkan arah yang justru menunjukkan trend kurang menggembirakan, karena terbukti menghasilkan kinerja yang negatif dalam kemampuan pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan indikasi makin terpuruknya kemampuan tata kelola pemerintahan.
Dengan melihat berbagai kondisi ini, maka upaya memperkuat demokrasi melalui ekonomi rakyat tidak akan dapat dipisahkan dari upaya memperkuat proses demokratisasi yang berlangsung sehingga menghasilkan demokrasi yang benar-benar mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih dan mekanisme partisipasi rakyat yang efektif mengkomunikasikan kepentingan dan kehendak rakyat. Tanpa adanya demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang bersih, akan sulit mengharapkan terjadinya penguatan ekonomi rakyat sebagai basis demokrasi ekonomi.
Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri, et.el.. 2008. Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu?. Kanisius: Yogyakarta.
Barro, Robert J., 1996. Democracy and Growth, Journal of Economic Growth, 1:1-27(March 1996).
Hamid, Edy Suandi,2005, Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia, UII Press: Yogyakarta.
______________,2006, Ekonomi Indonesia: Dari Sentralisasi ke Desentralisasi, UII Press: Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati dan Albert Wijaya, 1981, ‘Ekonomi pancasila, Sistem Ekonomi indonesia, dan Hukum Ekonomi Pembangunan‘ Prisma Januari 1981, LP3ES: Jakarta
Hatta, Mohammad, 1954, Kumpulan Karangan III, Balai Pustaka: Jakarta.
Juoro, Umar, 2004, Demokrasi Membutuhkan Ekonomi. Kompas 3 September 2004.
Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi, 2008, Governance Matters VII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2007, Policy Research Working Paper 4654. The World Bank Development Research Group Macroeconomics and Growth Team and World Bank Institute Global Governance Program June 2008.
Mubyarto, 2002, Ekonomi Rakyat Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 1 No. 1 Maret 2002, didownload dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm.
Yustika, Ahmad Erani, 2004, Demokrasi Prasyarat Ekonomi? Kompas, 15 September 2004.

www.sarjanaku.com › Ekonomi -


Perkembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia di Masa yang Akan Datang
               Gambaran yang lebih jelas tentang arah yang dituju dalam pembangunan Indonesia dapat dibaca dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam RPJPN tersebut telah ditetapkan bahwa visi pembangunan adalah “Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur”. “Mandiri” artinya mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. “Maju” dapat diukur dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum. Sedangkan “Adil” dicerminkan oleh tidak adanya diskrimasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Sementara “Makmur” dapat diukur dari tingkat pemenuhan seluruh kebutuhan hidup.                                                         Dalam RPJPN 2005 – 2025 juga telah ditetapkan misi pembangunan sebagai berikut :
  1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
  2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
  3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
  4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
  5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
  6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
  7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
  8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Untuk mencapai misi tersebut, telah ditetapkan pula 4 tahapan pembangunannya, yaitu :
  1. Dalam RPJMN 1 (2005 – 2009) dilakukan penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
  2. RPJMN 2 (2010 – 2014) ditujukan untuk memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, dan memperkuat daya saing perekonomian.
  3. Sedangkan target dalam RPJMN 3 (2015 – 2019) adalah memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek.
  4. Pada tahapan terakhir, RPJMN 4 (2020 – 2024) diharapkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh belandaskan keunggulan kompetitif.
Dalam pembangunan daya saing bangsa, RPJPN 2005 – 2025 menetapkan arahnya sebagai berikut :
  1. Pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
  2. Penguatan perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global.
  3. Penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.
  4. Pembangunan sarana dan prasarana yang memadai dan maju.
  5. Reformasi hukum dan birokrasi.
               Selain itu ada pula rencana dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia melalui pidato Presiden Yudhoyono, Jakarta 14/8/09:Sudah saatnya kita memilih dan kemudian menjalankan paradigma dan grand strategy pembangunan ekonomi kita yang lebih tepat. Menurut Presiden, kita harus memetik pelajaran dari krisis perekonomian besar yang terjadi sekarang ini, dan menelurkan pikiran-pikiran besar tentang arah dan strategi pembangunan ekonomi kita. Pertama-tama, pembangunan ekonomi Indonesia ke depan nanti mesti lebih memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan(knowledge), dan budaya (culture) yang kita miliki. Ekonomi Indonesia, katanya, ekonomi 230 juta manusia yang akan terus bertambah, ekonomi tanah air seluas 8 juta km persegi, juga harus memiliki kesinambungan. “Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil,” kata Presiden SBY. Ke depan, lanjut SBY, kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri, pasar dalam negeri, dan tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan kita. “Oleh karena itu strategi yang hanya bersifat export oriented tentu bukanlah pilihan kita,” katanya.
               Di sisi lain, kata SBY, ekonomi nasional mestilah berdimensi kewilayahan, dengan pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh tanah air. “Daerah-daerah harus menjadi kekuatan ekonomi lokal. Sumber-sumber investasi dan pendanaan dalam negeri juga mesti kita perkuat. Kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang atau sektor ekonomi tertentu harus terus kita perkuat, terutama pangan dan energi,” katanya. Menurut SBY, ekonomi nasional mesti dikembangkan berdasarkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan sekaligus keunggulan kompetitif (competitive advantage). Dan terakhir, diperlukan ekonomi nasional yang dilandasi oleh mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan.

Sumber:


Perkembangan Ekonomi Indonesia 2010 2011
Perkembangan Ekonomi Indonesia : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, ada kemungkinan target pertumbuhan ekonomi indonesia dalam RAPBN 2010 naik dari target yang ditetapkan sebesar 5,0 persen. “Kesepakatan dengan DPR kan kisarannya 5-6 persen, nanti kita lihat pembahasan lebih lanjut dengan DPR,” katanya usai upacara peringatan HUT ke-64 Kemerdekaan RI di Departemen Keuangan Jakarta, Senin (17/8). Kenaikan target pertumbuhan ekonomi RAPBN 2010, kata Menkeu, juga dimungkinkan dengan perkembangan sampai semester I 2009 yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari perkiraan.
“Tampaknya kondisi semester I tidak seburuk yang dibayangkan dan semester II kita akan hati-hati meskipun dari sisi pertumbuhan ekonomi pada sektor investasi kita harus tetap pantau dengan baik,” katanya. Menurut dia, penetapan target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2010 lebih dari lima persen bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, namun harus dilihat dulu faktor-faktor yang menyumbangnya.
               Menurut FPKS, capain itu tentu karena berbagai upaya dan langkah kebijakan yang diambil pemerintah. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5 persen pada 2010, perlu didorong menjadi lebih besar. FPG melalui juru bicaranya Kahar Muzakir mengusulkan agar pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 6,0 persen. Sementara untuk target inflasi, diusulkan sebesar 5,0 persen, nilai tukar rupiah Rp10.000 perdolar AS dan rata-rata tingkat bunga SBI 3 bulan 6,5 persen. Ketiganya sama dengan angka di Nota Keuangan dan RAPBN 2010. Untuk harga minyak, FPG mengusulkan angka 65 dolar AS perbarel dari angka di Nota Keuangan sebesar 60 dolar AS.
Keuangan Pusat dan Daerah : Setelah sebelum ini kita sudah bahas mengenai Permasalahan Ekonomi di Indonesia, postingan kali ini saya ingin berbagi kepada teman-teman tentang sistem dan undang undang yang berlaku di Indonesia dalam hal Keuangan Pusat dan Daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara proporional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadian, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berbagai laporan keuangan daerah ditempatkan dalam dokumentasi daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan sistem alokasi kepada daerah, diatur pula informasi keuangan daerah dan menetapkan sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perilaku hidup bersih dan sehat.Berdasarkan uraian diatas, undang-undang ini mempunya tujuan pokok antara lain :
a. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah
b. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti.
Youtube upin dan Ipin
c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat , mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Download Game Blackberry Gratis
d. menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah.
e. mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah.
f. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Politik Lokal : Akhir-akhir ini pesta demokrasi daerah-daerah di Indonesia telah terdengar. Hiruk pikuk dan segala macam hingar bingarnya setidaknya telah menyedot perhatian masyarakat untuk iukt berpartisipasi memilih pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Muncul fenomena baru dalam pemilihan kepala daerah kali ini. Yaitu : munculnya dinasti politik lokal.
               Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata bakal calon yang berhasil lolos dalam persyaratan menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang di topang oleh tumpukan rupiah. Demokrasi tidak bisa dinikmati oleh orang miskin. Orang miskin dilarang menjadi pemimpin. Di sinilah mereka yang termasuk ditopang tumpukan rupiah adalah Istri dari mantan kepala daerah. Peluang menjadi kepala daerahpun terbuka karena pemilih cenderung berikap pragmatis. Siapa yang lebih banyak atau lebih dahulu memberikan “dana politik” maka dialah yang dipilih. Alhasil, daerah-daerah tak ubahnya seperti kerajaan. Habis suami, muncul istri. Habis istri muncul anak. dinasti politik lokal.
Oleh Karena itulah perlu ada kebijakan tersendiri atau amandemen Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Selain itu, partai juga harus melihat sumbangsih yang dilakukan kadernya. Keringat yang sudah dikucurkan oleh kadernya untuk mempertaruhkan nama baik partainya adalah pengabdian. Terlepas dari adanya kepentingan. Dengan melihat itu, partai politik bisa lebih mengedepankan kader partai daripada mengusung istri mantan kepala daerah.
Dengan berpatokan pada tiga kekurangan diatas, dinasti politik lokal harus segera diatasi. Jika dinasti politik lokal terus saja dibiarkan. Bisa jadi, pemilihan-pemilhan kepala daerah yang masih belum dilaksanakan akan juga dicederai oleh dinasti politik lokal. Selain itu, jika dinasti politik lokal terus dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan merambat pada dinasti politik nasional. Bukankah akhir-akhir ini merebak isu SBY, akan digantikan oleh Istrinya? Tentu ini, bukan hal yang mustahil untuk terjadi.
ekonomiindonesia21.wordpress.com - Cached

Tanggapan:
Dengan demikian, demokrasi ekonomi sebagaimana gambaran ideal perekonomian nasional tidak akan lepas dari penguatan pemerintahan demokratis yang menjadi pengatur dan pengarah berjalannya ekonomi nasional. Tanpa pemerintahan yang kuat (dalam artian mampu mendistribusikan hak & kewajiban ekonomi masing-masing ekonomi secara adil), maka ekonomi yang benar-benar demokratis akan sulit terwujud. Pengalaman Indonesia selama ini menunjukkan proses demokratisasi yang berlangsung belum sepenuhnya menunjukkan arah yang positif bagi penguatan pemerintah.
Serta kemampuan ekonomi rakyat dalam mengurangi dampak ekonomi dari kegagalan kebijakan pemerintah antara lain juga bisa dilihat dari peran ekonomi rakyat dalam mengurangi penduduk miskin. Melalui unit-unit usaha ekonomi rakyatlah, tenaga kerja tak terdidik di tanah air diserap lebih banyak sehingga angkanya tidak terlalu membengkak dan dampak sosial yang mungkin ditimbulkan dapat ditekankan secara optimal. Dalam kerangka ini, pelaku usaha ekonomi rakyat mampu secara efektif bekerja dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi positif baik disadari ataupun tidak. Ini sekaligus menunjukkan karakter kemandirian yang melekat demikian kuat pada ekonomi rakyat sebenarnya bisa terus dikembangkan sehingga kontribusi yang lebih besar dapat diberikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar